Wartawan Kerap Terjerat Pidana Pemerasan, Jurnalis Nano-Nano Muncul Sebagai Istilah Baru

Gambar ilustrai belaka.(sumber foto : PNGwing)

KAUR || NUSANTARAMAILS.COM – Seiring dengan berkembangnya tekhnologi di era modern saat ini, berdampak pada lahirnya industri pers dengan pesat. Dalam praktek dilapangan, jurnalis yang melaksanakan tugas peliputan kerap kali dihadapkan pada dileme bahkan masuk ke ranah hukum.

Kebebasan pers dalam mengontrol sosial di masyarakat, menjadi corong informasi publik perlahan berubah arah yang lebih buruk dan cenderung keluar dari kaedah pers itu sendiri.

Etika dan profesionalisme seakan hilang dari jiwa wartawan yang ditugaskan oleh redaksinya meliput, mencari, mendapat data seakan hilang jati dirinya sebagai wartawan.

Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan fungsi dan tugas pers yang sebenarnya. Perusahaan pers tumbuh pesat khususnya media siber, para wartawan yang diliputpun seakan tidak lagi cermat.

Ada istilah yang mulai ramai diperbincangkan masyarakat terkait jurnalisme. “Wartawan Rasa LSM, LSM Rasa Wartawan”. Kemudian, dikemas menjadi satu kalimat “Wartawan Nano-Nano”.

Parahnya lagi, muncul istilah di pemerintahan “Wartawan GU”. Sekelompok oknum yang mengaku sebagai wartawan datang ke instansi pemerintah hanya untuk mendapat jatah GU.

Baca Juga : 

Data atau informasi yang diperoleh wartawan dikemas menjadi sebuah alat atau sarana untuk melakukan “intimidasi atau ancaman” yang berujung pada pemerasan terhadap korbannya.

Tidak sedikit wartawan yang terjerat pidana pemerasan. Sehingga, beberapa kasus wartawan yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh APH karena melakukan dugaan pidana pemerasan.

Dalam perkembangannya, pers menjelma sebagai sarana bisnis. Perusahaan pers tidak dapat dipisahkan dengan kata bisnis. Namun, dalam penerapannya dilapangan banyak yang keliru.

Perusahaan pers yang belum memiliki kemampuan finansial dalam menjalankan operasionalnya harus mencari cara untuk mendapat pemasukan guna menghidupkan dapur redaksinya.

Ke depan, tanggungjawab perusahaan pers terhadap wartawannya semakin berat. Perushaan pers untuk lebih cermat dan tidak sembarang merekrut calon wartawannya.

Kemudian, peran dari organisasi pers dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) jurnalis juga harus lebih ditingkatkan lagi.

Dengan menggelar Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang berkelanjutan. Hal ini menjadi penting untuk menciptakan jurnalis yang benar-benar berkompeten didunia jurnalistik.

Profesi wartawan tidak seharusnya menjelma sebagai “Malaikat Tanpa Dosa”. Karenanya, peningkatan pemahaman terhadap pers, wartawan maupun fungsi redaksi harus digalakkan lagi.

Begitu pula sebaliknya, tidak sedikit pula wartawan yang menjadi korban kekerasan atau intimidasi dari kelompok tertentu. Resiko profesi wartawan tidak sebanding dengan income yang diterima.

Dalam menjalankan tugasnya, wartawan dituntut untuk mengikuti kaedah-kaedah jurnalistik. Etika, tata cakrama hingga prilaku yang diamanatkan dalam undang-undang pers.

Dibeberapa daerah, banyak masyarakat yang mencibir wartawan. Hal ini dipengaruhi oleh sikap dan prilaku oknum wartawan yang tidak mencerminkan profesinya yang mulia.

“Mari jaga marwah profesi wartawan. Jangan rusak dengan berbagai macam alibi untuk menyamarkan fungsi pers yang sebenarnya,” ungkap Fadli Abbas pengurus SMSI Kaur.(yti)

Follow Nusantara Mails di Google News